SEJARAH TURQI USMANI
A. PENDAHULUAN
Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam
berada dalam era kemunduran pertama.1 Berawal dari kerajaan kecil, lalu
mengalami perkembangan pesat, dan akhirnya sempat diakui sebagai negara
adikuasa pada masanya dengan wilayah kekuasaan yang meliputi bagian utara
Afrika, bagian barat Asia dan Eropa bagian Timur.2 Masa pemerintahannya
berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang sejak tahun 1299 M-1924 M.
Kurang lebih enam abad (600 tahun).3
Dalam rentang waktu yang demikian panjang
kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika yang selalu menghadirkan format dan
ciri khas yang baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat dan bebas
dunia Islam dari kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena
sebagaimana diketahui, bahwa pemerintahan Turki Usmani tidak hanya terbatas
pada kekuasaan dan wilayah, tapi juga meliputi bidang agama. Pada periode
berikutnya4, kerajaan Turki Usmani yang berpijak kepada Syari’at Islam mulai
bergeser menjadi hukum sekuler, ini terjadi pada akhir abad-19 tepatnya pada
era tanzimat (1839-1876) ketika terjadi persentuhan budaya
timur (Islam) dengan budaya Barat (Eropa). Era tanzimat merupakan
gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani, yang pada hakikatnya
berintikan upaya pemerintah Turki Usmani untuk melakukan perbaikan dalam tata
aturan perundangan di segala bidang, dan salah satu hukum yang disusun Majallah
al-Ahkam al-Adliyahi (1876 M) di samping piagam Gulhane dan Humayun.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang perkembangan hukum Islam pada masa Turki
Usmani makalah sederhana ini mencoba menguraikan, dengan pokok pembahasan;
Sekilas tentang Turki Usmani, Sebelum Tanzimat, Era Tanzimat, Majallah al-Ahkam
al-Adliyah dan sesudah tanzimat.
B. SEKILAS TENTANG TURKI USMANI
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki
dari kabilah Oghuz5 yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina.
Dalam jangka waktu lebih kurang tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian
Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh
ketika menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada
abad ke-13 M bangsa Turki dengan dipimpin Artogol melarikan diri menuju dinasti
Saljuk untuk mengabdi pada penguasa yang ketika itu dipimpin oleh Sultan
Alauddin II.
Artogol dan pasukannya bersekutu dengan
pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II berperang menyerang Bizantium, dan
usaha ini berhasil, artinya pasukan Saljuk mendapat kemenangan. Atas jasa
baiknya itu Sultan Alauddin II menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang
berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu bangsa Turki terus membina wilayah
barunya dan memilih Kota Syukud sebagai ibu kota.6
Pada tahun 1289 M Artogol meninggal dunia.
Kepemimpinan- nya dilanjutkan oleh putranya, Usman. Putra Artogol inilah yang
dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani, beliau memerintah tahun 1290 M – 1326
M. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa pada Sultan Alauddin II, dengan
keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium. Pada tahun 1300 M, Bangsa
Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan
Saljuk kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun
menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak
itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah
Usman yang sering disebut Usman I. Dalam perkembangannya, Turki Usmani melewati
beberapa periode kepemimpinan. Sejak berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh
Usman I Ibn Artogol (1299-1326 M) berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib
(1918-1922 M). Dan dalam perjalanan sejarah selanjutnya Turki Usmani merupakan
salah satu dari tiga kerajaan besar yang membawa kemajuan dalam Islam.7
C. SEBELUM TANZIMAT
Sebagai diketahui Kerajaan Turki Usmani
dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia dan
kekuasaan spritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel
Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah.8 Dengan
demikian Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah
negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.
Dalam melaksanakan kedua kekuasaan di atas
Sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi sadrazam untuk urusan
pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan.
Keduanya tidak mempunyai banayak suara dalam soal pemerintahan dan hanya melaksanakan
perintah Sultan. Dikala Sultan berhalangan atau berpergian ia digantikan sadrazam dalam
menjalankan pemerintahan. Syaikh al-Islam yang mengurus bidang
keagamaan dibantu oleh qadhi askar al-rumali yang membawahi
qadhi-qadhi wilayah Usamniyah bagian Eropa, sedang qadhi askar
anduly membawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah di Asia dan Mesir.9
Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi tersebut merujuk kepada mazhab Hanafi.10
Hal ini yang disebabkan mazhab yang dipakai oleh Sultan adalah mazhab Hanafi.
Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini :
1.Mahkamah Biasa/Rendah (al-Juziyat),
yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
2.Mahkamah Banding (Mahkamah
al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
3.Mahkamah Tinggi (Mahkamah
al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi yang
terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4.Mahkamah Agung (Mahkamah al-Isti’naf
al-Ulya), yang langsung di bawah pengawasan Sultan.11
Lembaga peradilan (qadha’) pada masa ini
belum berjalan dengan baik, karena terdapat intervensi dari pemerintah, bahkan
sistem peradilan dikuasai oleh kroni-kroni dan pejabat pemerintah. Jadi belum
tampak dengan jelas pemisahan antara urusan agama dan pemerintahan.
D. MASA TANZIMAT (1839-1876 M) Secara etimologi tanzimat berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat,
yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki.12 Term ini dimaksudkan untuk
menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani pada
pertengahan abad ke-19. Gerakan ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh
pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari Barat yaitu bidang pemerintahan,
hukum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan dan sebagainya.13
Tanzimat merupakan suatu gerakan pembaharuan sebagai kelanjutan dari kemajuan
yang telah dilakukan oleh Sultan Sulaiman (1520-1566 M) yang termasyhur dengan
nama al-Qanuni. Namun pembaharuan yang sebenarnya lebih membekas
dan berpengaruh pada masa Sultan Mahmud II (1808-1839 M).14 Ia memusatkan
perhatiannya pada berbagai perubahan internal diantaranya dalam organisasi
pemerintahan dan hukum. Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan yang
pertama kali dengan tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan urusan dunia.
Urusan agama diatur oleh syari’at Islam (tasyr’ al-dini) dan
urusan dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at (tasyri’ madani).15
Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaan syaikh al-Islam,
sedangkan hukum bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk
mengaturnya, hukum yang bukan syari’at ini diadopsi dari Eropa, Perancis dan
negeri asing lainnya. Diantaranya adalahal-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-undang
Peradilan Perdata). Dengan penerapan al-Nizham al-Qadha al-madani(Undang-undang
Peradilan Perdata) dalam peradilan munculMahkamah al-Nizhamiyah yang
terdiri dari Qadha al-Madani(Peradilan Perdata) dan Qadha-Syar’i (Peradilan
Agama ).16 Dikotomi lembaga peradilan pada masa Sultan Mahmud II memberikan
indikasi sudah adanya pemisahan urusan agama dan urusan dunia. Kemunculan
tanzimat dilatarbelakangi oleh:
1. Khusus bidang hukum terjadinya
persentuhan hukum Barat dan hukum Islam
2. Muncul para tokoh tanzimat17 yang ingin
membatasi kekuasaan Sultan yang absolut.18
Disamping itu pada masa ini kondisi
masyarakat terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1. Tradisional, yang mempertahankan dan
membangun pemikiran berdasarkan fiqh dan berpijak pada mazhab yang ada. Karena
fiqh dianggap telah mapan dan sempurna sehingga mereka berpendapat mazhab ini
harus dikembangkan dan disosialisasikan.
2. Modernisme, yang menawarkan agar fiqh
perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat.
3. Reformasi, melontarkan gagasan, bahwa
fiqh yang ada tidak mampu merespon berbagai perkembangan yang muncul sebagai
akses perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang multi dimensionalitas. Oleh
karena itu diperlukan fiqh baru, yang menafsirkan nash secara
kontekstual.19
Agaknya keadaan masyarakat ini juga
mempengaruhi munculnya pembaharuan lebih-lebih lapisan modernisme dan
reformasi. Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan diumumkannya Piagam
Gulhane (Khatt-i Syarif Gulhane) pada tanggal 3 Nopember 1839
M, kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Piagam Humayun (Khatt-i
Syarif al-Humayun)pada tahun 1856 M.20 Gerakan ini terjadi pada masa Sultan
Abdul Majid (1839-1861 M) putra Sultan Mahmud II. Piagam Gulhane berisikan
berbagai bentuk perubahan yang pada masa permulaan kerajan Turki Usmani,
syari’at Islam dan Undang-undang Negara dipatuhi, sehingga negara menjadi kokoh
dan kuat. Untuk kembali pada masa tersebut, maka perlu diadakan
perubahan-perubahan yang membawa kepada pemerintahan yang baik, yaitu:
1. Terjaminnya ketentraman hidup, harta
kehormatan dan warga negara.
2. Peraturan mengenai pemungutan pajak.
3. Peraturan mengenai kewajiban dan
lamanya dinas meliter.21
Selanjutnya dijelaskan bahwa tertuduh akan
diadili secara terbuka dan sebelum pengadilan pelaksanaan hukuman mati dengan
racun dan jalan lain tidak dibolehkan. Pelanggaran terhadap kehormatan
seseorang juga tidak diperkenankan. Hak milik terhadap harta dijamin dan tiap
orang mempunyai kebebasan terhadap harta yang dimilikinya. Ahli waris dari yang
kena hukuman pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi, dan demikian
pula harta yang kena hukuman pidana tidak boleh disita.22 Melihat muatan Piagam
Gulhane ini terlihat adanya usaha pembaharu untuk melakukan rekonsiliasi antar
muslim tradisional dengan kemajuan23, serta institusi-institusi baru yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam, bahkan bisa menampung kebutuhan mereka.
Menjamin keamanan hidup, ketenangan, jaminan kepemilikan. Satu hal yang penting
dalam piagam ini adalah adanya ketentuan bahwa aturan-aturan itu berlaku untuk
semua lapisan masyarakat dan semua golongan agama tanpa ada pengecualian. Atas
dasar piagam ini, maka terjadi beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi
kemasyarakan Turki Usmani. Diantaranya dalam bidang hukum dirumuskannya
kodifikasi hukum perdata olehMajelis Ahkam al-Adliyah24 dan hukum
pidana. Sedang dibidang pemerintahan adanya sistem musyawarah dan di bidang
pendidikan adanya pemisahan antara pendidikan umum dan agama, serta kekuasaan
pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan ulama.25 Pada masa ini mulai masuk
pengaruh sistem pendidikan Barat. Agaknya sejak saat ini pemisahan pendidikan
antara hukum dan agama ini berlaku sampai sekarang. Selanjutnya pada tahun
1856M26 Sultan Abdul Majid mengumumkan belakunya piagam Humayun yang lebih
banyak mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa dan non muslim
yang berada di bawah kekuasaan Turki Usmani,27 sehingga antara orang Eropa dan
rakyat Islam Turki tidak ada perbedaan lagi artinya mereka mempunyai hak yang
sama dalam hukum. Walaupun piagam Humayun dikeluarkan untuk memperkuat
keberadaan piagam Gulhane, namun jika diperhatikan lebih jauh piagam ini
memberikan hak dan jaminan kepada bangsa Eropa untuk semakin memantapkan
keberadaan di Turki Usmani. Sikap pro-Barat ini pada akhirnya membawa kelemahan
terhadap kerajaan Turki Usmani dalam menghadapi Eropa.
Dapat dipahami bahwa perkembangan tasyri’
pada masa tanzimat di kerajaan Turki Usmani banyak dipengaruhi oleh hukum dari
Barat, artinya telah bercampur hukum Islam dengan hukum Barat. Sedangkan Piagam
Gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada syari’at Islam tetapi juga mengakui
perlunya diadakan sistem baru. Hukum baru yang disusun banyak dipengaruhi oleh
hukum Barat. Apalagi piagam Humayun yang secara tegas diperlakukan untuk non
Islam dan Eropa. Pada masa ini telah ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan
hukum, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Dusturiyah pada
tahun 1293 H/1877 M. Sehingga terhindar dari hawa nafsu dan keinginan pribadi
dalam menetapkan hukum. Dan juga didirikan Mahkamah al-Tamyiz
(al-Naqdu) yang merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk memecat
para qadhi yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum, karena dianggap tidak
melaksanakan tugas sesuai yang ditetapkan.28 Namun pada akhirnya lembaga yang
didirikan serta undang-undang yang berlaku sebagaimana mestinya karena ada
unsur korupsi dan kolusi dalam pemerintahan. Kondisi ini menjadikan peradilan
seperti barang dagangan yang diperjualbelikan.
E. MAJALLAH AL-AHKAM AL-ADLIYAH
Munculnya Majallah al-Ahkam
al-Adliyah merupakan bentuk aplikasi dari ide taqnin (kodifikasi
hukum) yang muncul pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur ketika masa Daulat
Abbasiyah, atas inisiatif dari Ibn Muqaffa’. Namun ide ini belum terwujud
karena penolakan dari para ulama seperti Imam Malik dengan alasan, bahwa
perbedaan pendapat ulama dalam persoalan furu’ merupakan suatu
hal yang positif.29 Hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an tidak membutuhkan
intervensi pemerintahan dalam menetapkannya. Di saat kemajuan kebudayaan Islam,
ilmu pengetahuan berkembang pesat yang melahirkan para ilmuan dan imam-imam
mazhab yang tersebar di seluruh pelosok daerah, sehingga dalam perkembangan
selanjutnya muncul rasa fanatisme mazhab, yang cendrung membawa turunnya
semangat ijtihad, kejumudan dan ketertutupan ijtihad. Kondisi ini berimplikasi
kepada perbedaan dalam menetapkan hukum karena beragamnya mazhab yang mereka
pakai. Berdasarkan kondisi tersebut muncul ide dari Daulah Usmaniyah untuk
mewujudkan kodifikasi hukum Islam agar tidak terjadi keberagaman hukum dalam
satu perkara pada lembaga peradilan. Pada akhir abad ke-13 H pemerintah Turki
Usmani mengeluarkan pemerintah untuk membentuk panitia yang bertugas
mengumpulkan ketentuan hukum syara’ terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi
yang berkaitan dengan hukum muamalat (perdata). Panitia menetapkan hukum
berpegang pada mazhab Hanafi, dengan memperhatikan kemaslahatan umat dan
perkembangan zaman tanpa harus terikat dengan pendapat yang kuat dalam mazhab
ini.30 Maksudnya pendapat yang lain juga diperhatikan dalam menetapkan hukum.
Panitia yang terdiri dari fuqaha ini melaksanakan tugasnya selama 7 ( tujuh)
tahun mulai dari tahun 1280-1293 H / 1869-1876 M. Pada tahun 1293 H/1876 M
panitia berhasil merampungkan tugasnya dengan melahirkan peraturan yang
bernama Majallah al-Ahkam al-Adliyah yang diundangkan pada
tanggal 26 Sya’ban 1293 H, dan bersamaan dengan ketetapan pemerintah Turki
Usmani untuk menerapkanmajallah ini di pengadilan-pengadilan di
Turki dan negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaannya, seperti Libanon dan
Siria.31 Peraturan Undang-undang ini terdiri dari 1851 pasal yang berisikan:
1. Muqaddimah, tentang defenisi ilmu fiqh
pembahagiannya serta penjelasan kaidah-kaidah fiqhiyah.
2. Bab-bab Muamalah yang dibedakan untuk
setiap kitab dan terdiri dari 16 kitab. Pada muqaddimah setiap bab berisikan
istilah-istilah fiqh yang berkaitan dengan setiap kitab.32
Majallah al-Ahkam al-Adliyah merupakan kitab undang-undang perdata pertama yang diambil dari
ketentuan-ketentuan Islam, yang berasal dari mazhab Hanafi di samping pendapat
lain33 dengan melihat perkembangan dan kondisi umat. Artiya dalam majallah ini
tidak ditemukan perbedaan pendapat sehingga produk hukum yang dihasilkan
beragam. Di samping itu juga ada undang-undang lain yang ditetapkan yaitu
Undang-undang Keluarga (Qanun al-Ailat) tahun 1326 H. Undang-undang ini
khusus menyangkut persoalan pernikahan dan perceraian yang berasal dari mazhab
selain Hanafi.34 Dengan adanya undang-undang ini membawa umat keluar dari
taqlid buta, dan tidak hanya terikat dengan satu mazhab. Kodifikasi ini
membantu para hakim (qadhi) dalam memutuskan perkara yang dihadapi, sehingga
adanya keseragaman hukum dalam satu perkara. Namun kodifikasi ini juga
mempunyai kelemahan yang mengakibatkan lemahnya ruh dan semangat ijtihad ulama.
Begitu juga kurangnya ketelitian dalam memutuskan perkara, karena mereka sudah
dipola dengan acuan yang sudah baku dan adanya keharusan pengawasan terhadap
produk hukum yang dihasilkan. Terbatasnya hukum yang ada menyebabkan kurang
fleksibel hukum yang dihasilkan, sementara peristiwa kehidupan masyarakat
senantiasa berubah.
F. TASYRI’ SETELAH TANZIMAT
Pada akhir periode Turki Usmani, persoalan
peradilan semakin banyak dan sumber hukum yang dipegang tidak hanya terbatas
pada syari’at Islam saja, tapi juga diambil dari sumber non syari’at Islam, dan
pada masa ini banyak muncul lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling
berbeda, yaitu:35
1. Mahkamah al-Thawaif atau Qadha
al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari
agama masing-masing.
2. Qadha al-Qanshuli, yaitu
peradilan untuk warga negara asing dengan sumber undang-undang asing tersebut.
3. Qadha Mahkamah Pidana, bersumber
dari Undang-undang Eropa.
4. Qadha Mahkamah al-Huquq, (Ahwal
al-Madaniyah),mengadili perkara perdata, bersumber dari Majallah
al-Ahkam al-Adliyah.
5. Majlis al-Syari’
al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah keluarga
(al-Syakhsyiyah), sumbernya fiqh Islam.
Begitu pula dengan pengadilan sudah
terdapat Mahkamah Biasa, Banding dan Mahkamah Agung.36 Dengan demikian kondisi
qadha pada masa ini sudah beragam, dan ini merupakan pembaharuan yang dicapai
pada periode sebelumnya atau masatanzimat. Pembaharuan yang diadakan
pada masa tanzimattidak seluruhnya mendapat penghargaan dari pemuka
masyarakat Islam, bahkan mendapat kritikan dari para cedikiawan Islam Kerajaan
Turki Usmani. Kritikan ini timbul dari tokoh nasionalis Turki, Mustafa Kemal
al-Taturk (Bapak Turki),37 yang dipengaruhi oleh ide golongan nasionalis Turki
dan nasionalis Barat. Westernisme, sekularisme38 dan nasionalisme menjadi pola
dan dasar pemikirannya. Ia berpendapat Turki hanya dapat maju dengan meniru
Barat. Untuk mencapai ide tersebut, ia memproklamirkan Republik Turki Sekuler
tahun 1942M Mustafa Kemal selanjutnya menghilangkan institusi keagamaan dalam
pemerintahan dengan menghapuskan Syaik al-Islam, Kementrian Syari’at danMahkamah
Syari’at serta hukum syari’at dan hukum adat dihapuskan diganti dengan
hukum Barat, dalam soal perkawinan diganti dengan hukum Swiss yaitu menurut
hukum sipil. Wanita mendapat hak cerai yang sama dengan kaum pria, dan banyak
lagi yang sudah diubah menjadi hukum Barat. Mustafa Kemal sebagai seorang
nasionalis dan pengagum peradaban Barat tidak menentang Agama Islam, ini
terbukti bahwa dalam mengurus persoalan agama diadakan Derpertemen Urusan
Agama, dan masih memberikan kebebasan beragama kepada rakyat. Sekolah-sekolah
pemerintah untuk mencetak imam dan khatib di FakultasIllahiyat Istambul
sampai saat ini masih eksis. Ia beranggapan agama Islam merupakan agama
rasionalis, namun dirusak oleh pemahaman yang sempit, untuk itu perlu
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Negara Turki. Al-Qur’an perlu
diterjemahkan ke dalam Bahasa Turki. Azan harus diberikan dalam bahasa Turki.
Azan dalam bahasa Turki ini mulai diterapkan pemakaiannya tahun 1931 M.
Modernisme dan westernisme Mustafa Kemal
bukanlah bertujuan menghilangkan agama, namun yang dimaksudkan adalah
menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan tetapi hal
ini sangat membawa pengaruh pada perkembangan hukum Islam dan nampaknya
sekularisme Mustafa Kemal sangat berpengaruh sampai saat ini.
G. KESIMPULAN
Perkembangan hukum Islam pada masa
kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika yang beragam pada mula kekuasaan hukum
dipegang oleh syari’at Islam yang diintervensi oleh
pemerintah. Kemudian perkembangan hukum selanjutnya tidak hanya dipegang
oleh syari’at Islam tetapi juga hukum selain Islam yaitu orang
non Islam Eropa dan mereka mendapatkan kedudukan yang sama dalam hukum. Ini
terjadi pada masatanzimat, dan pada akhirnya muncul hukum sekuler yang
dipelopori oleh Mustafa Kemal yang banyak membawa perubahan dalam syari’at Islam
yang kalau diperhatikan ini diwariskan sampai saat sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar